Dependensi Berkelanjutan Kaum Tani

dependensi petani

Modenis.co, Malang – Secara substansial perdebatan yang mewarnai perbincangan perekonomian ialah urgensi sarana dan prasarana sebagai pendukung pertumbuhan serta perkembangan ekonomi. Program-program unggulan perekonomian Indonesia sedari dulu berasal dari sektor pertanian. Pertanian adalah usaha yang selain bertujuan memajukan ekonomi namun juga satu-satunya kebutuhan yang akan selalu diperlukan selama manusia masih membutuhkan makanan.

Indonesia memiliki luas lahan pertanian yang menyaingi Brazil sebagai negara agraris tropis terbesar ke dua di dunia. Negara agraris yakni suatu negara yang menjadikan sektor pertanian sebagai pendukung kebutuhan secara mandiri sekaligus sebagai sumber keuntungan ekonomi. Popularitas Indonesia sebagai negara agraris dibuktikan dengan data dari kemendag yang menyatakan bahwa komoditas pertanian menjadi tiga dari sepuluh produk ekspor unggulan Indonesia, yaitu karet, sawit dan kopi.

Namun ada satu hal menarik yang terjadi. Dengan status sebagai negara agraris eksportir bahan-bahan pertanian, faktanya mayoritas masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai petani malah berpenghasilan rendah dan memiliki kehidupan ekonomi yang bisa dikategorikan miskin. Realita yang miris bagi negara yang disebut agraris.

Revolusi Hijau, Ketika Pertanian Menjadi Perhatian

Hadirnya revolusi hijau pada tahun 1940-an menjadi suatu dorongan insentif untuk mendobrak pembaharuan usaha tani. Revolusi hijau didasari pada kegelisahan terhadap fakta bahwa jumlah penduduk dunia semakin meningkat namun tidak diiringi dengan peningkatan jumlah produksi pangan. Maka dari itu dibutuhkan gebrakan baru untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas bahan pangan di dunia melalui penggunaan teknologi modern.

Titik awal munculnya ide revolusi hijau terjadi pada tahun 1948, dimana Rockerfellar Foundation menemukan varietas unggul dari komoditas jagung dan gandum melalui penerapan Bioteknologi. Selanjutnya pada tahun 1962 Rockerfellar Foundation bersama Ford Foundation mendirikan sebuah badan penelitian tanaman di Los Banos, Filipina yang diberi nama International Rice Research Institute (IRRI). IRRI adalah sebuah lembaga nonprofit yang memfokuskan diri pada penelitian tentang beras dengan satu tujuan mulia yaitu mencegah kemiskinan dan kelaparan, khususnya di Asia (IRRI, 2016)

Di Indonesia sendiri revolusi hijau diperkenalkan pertama kali di Jawa pada tahun 1966 melalui pengadaan bibit varietas unggul IR8 oleh IRRI. Beras IR8 memiliki keunggulan masa tanam lebih cepat dan hasilnya lebih baik dan lebih banyak. Mulai tahun 1970 hingga 1980, pemerintahan Orde Baru melakukan investasi besar-besaran pada sektor pertanian.

Mardianto (2015) menyebut bahwa tujuan utama dari revolusi hijau adalah meningkatkan produktivitas bahan pangan.Peningkatan produktivitas tersebut diwujudkan melalui penciptaan benih unggul secara massal, penggunaan pupuk kimia, bahan pengendali hama penyakit tanaman, serta mekanisasi alat-alat pertanian. Program-program tersebut dipercaya akan mendorong peningkatan produktivitas produk pertanian yang akan melampaui pertumbuhan jumlah penduduk.

Sempitnya Ruang Gerak Petani Indonesia

Dalam buku Pemuda & Pertanian Berkelanjutan (2017) menyebutkan bahwa dampak dari hadirnya revolusi hijau di Indonesia justru menimbulkan intervensi pemerintah dan swasta terhadap para petani. Penciptaan benih unggul dan pupuk kimia justru semakin menghilangkan kreativitas petani dan kemampuan pertanian yang telah dipelajari secara turun temurun.

Berbagai program yang diperkenalkan oleh pemerintah pun tanpa disadari telah menumpulkan kemampuan adaptasi lokal petani dan membuat mereka bergantung sepenuhnya pada program dan bantuan pemerintah. Setidaknya terdapat tiga program yang mempersempit ruang gerak petani.

Pertama, bicara soal benih, pemerintah telah melakukan monopoli melalui kebijakan benih bersertifikasi, akibatnya petani kehilangan hak & kemampuan untuk menyeleksi dan membuat benih sendiri. Hal ini tentunya menutup potensi petani untuk mandiri, mereka dipaksa untuk membeli benih hasil seleksi dan sertifikasi badan usaha pemerintah maupun swasta.

Kedua, penggunaan pupuk kimia & pestisida yang berlebihan berakibat pada semakin buruknya kondisi kesuburan tanah sehingga para petani akan semakin membutuhkan pupuk & pestisida dalam jumlah yang lebih besar lagi demi mendapatkan hasil panen yang baik. Tidak jarang petani merasakan kekosongan pupuk subsidi tingkat pengecer/penyalur. Kelangkaan tersebut secara terpaksa disikapi petani dengan kerelaan mengeluarkan uang lebih banyak untuk memperoleh pupuk non-subsidi.

Ketiga pengenalan alat mekanisasi pertanian. Alat-alat pertanian seperti rice transplanter (alat tanam padi) serta combine harvester (alat panen padi) telah disebarluaskan secara merata bahkan telah sampai daerah pelosok. Pendistribusian alat pertanian ini umumnya melalui penyewaan pada pihak swasta maupun individu pemilik.Keberadaan alat-alat mekanisasi tersebut belum dikatakan solutif bagi keberlangsungan usaha tani sebab pengenalan mekanisasi alat pertanian ini meningkatkan ketergantungan petani pada bahan bakar. Selain itu, biaya sewa yang naik turun dari pihak penyewa membuat para petani berpikir dua kali untuk menggunakan alat-alat tersebut. Terkadang kondisi ini membuat para petani memilih kembali menggunakan cara-cara tradisional untuk penanaman maupun pemanenan lahannya.

Pengadaan program-program pertanian di atas diharapkan oleh pemerintah dapat menjadi stimulus peningkatan kesejahteraan petani, nyatanya justru meningkatkan beban produksi petani. Kemunculan teknologi hasil revolusi hijau berbanding terbalik dengan kebutuhan dan kesejahteraan petani.

Bahkan petugas penyuluh lapangan yang diharapkan dapat membimbing petani justru terkesan memaksakan teknologi baru pada para petani dan berperan sebagai perpanjangan tangan pihak swasta yang menawarkan produk-produk terbaru (Hidayat, 2010:2) Petani akan sulit mendapat keuntungan karena hasil panennya tidak sebanding dengan pengeluaran mereka untuk pupuk, pestisida dan bahan bakar serta biaya perawatan mesin-mesin pertanian.

Food Estate (Limbung Pangan)

Salah satu contoh kasus dari uraian di atas adalah hadirnya program food estate (Lumbung Pangan). Food estate adalah program unggulan pemerintah untuk mengusahakan pengembangan pangan dalam skala luas. Program food estate menjadi andalan pemerintah setiap kali isu ketahanan pangan muncul di permukaan.Ditinjau dari sejarahnya program food estate tidak pernah sampai pada tahap berhasil sejak dijalankan pada era Soeharto hingga Jokowi. Namun begitu dengan munculnya krisis pangan di masa pandemi, entah mengapa program ini kembali menjadi salah satu ujung tombak dalam strategi ketahanan pangan di masa pandemi dan masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 (Wulandani dan Anggraini, 2020)

Di era Jokowi, food estate dibangun di daerah Kalimantan, Maluku, dan Papua dengan total luas lahan 1,7 juta ha (Agam, 2017). Dalam film dokumenter berjudul “Limbung Pangan” karya WatchDoc Documentary dipaparkan secara kronologis dampak strategis program yang katanya akan menjadi penolong krisis pangan di masa pandemi tersebut.

Secara teknis, dalam pelaksanaan food estate para petani diberikan fasilitas sepenuhnya, meliputi lahan, bibit/benih, pupuk, pestisida hingga alat-alat mekanisasi. Namun sebagai konsekuensinya diberlakukan pembatasan yang melahirkan dependensi di kalangan petani sebagai aktor utama dalam proyek tersebut. Varietas yang akan ditanam, periode tanam, serta pola pemupukan semuanya harus mengikuti prosedur yang ditentukan sedari awal. Bahkan produk pasca panen pun harus dijual melalui pihak pemberi fasilitas dengan regulasi harga yang seenaknya.

Proyek food estate tidak sepenuhnya didesain atas respon terhadap krisis pangan. Ancaman krisis pangan digunakan sebagai peluang investasi agribisnis dalam industri pangan global. Komoditas dibeli dengan harga murah dari petani lalu dijual mahal ke pasar global dengan motif kepentingan politik & ekonomi. Dengan hadirnya berbagai kepentingan, kesejahteraan petani tidak lagi diprioritaskan. Tujuan yang ditanamkan bersifat vertikal ke atas dan tidak memandang hubungan horizontal kondisi petani dalam negeri.

Kesimpulan

Uraian di atas menunjukkan adanya ketimpangan relasi antara negara, swasta, dan petani. Petani menempati posisi yang marginal karena mendapat tekanan dari pihak swasta dalam bentuk ketergantungan pada produk-produk yang dihasilkan dalam jumlah yang terus diperbanyak. Adapun tekanan dari negara atau pihak pemerintah menghasilkan ketidakberdayaan petani dalam menentukan harga untuk hasil produk pertanian karena telah ditentukan melalui berbagai regulasi.

Keinginan pemerintah mewujudkan swasembada beras dan pangan melalui berbagai program justru semakin melemahkan kreativitas dan ruang gerak petani untuk melakukan diversifikasi pertanian dan kebebasan petani dalam menentukan pilihan produk dan metode pertanian yang akan diterapkan.

Jika hal ini terus berlanjut maka dapat dipastikan Indonesia sebagai negara agraris akan mengalami deagrarianisasi. Deagrarianisasi ialah ketergantungan yang semakin berkurang pada pertanian, yang diakibatkan oleh semakin berkurangnya minat warga negara terutama generasi muda untuk mengambil peran pada usaha pertanian. Angka demografi umur petani di Indonesia hingga kini rata-rata berumur 50-an dan akan stagnan jika tidak segera diciptakan sebuah perubahan.

Solusi & Harapan

Dengan realita yang demikian diharapkan pemerintah mau dan mampu untuk menciptakan pola pikir dan pola pengembangan yang berkelanjutan bagi dunia pertanian. Mindset terhadap dunia pertanian harus segera diubah dengan benar-benar memperhatikan kondisi para petani dalam negeri.

Pengembangan tidak hanya dilakukan pada komoditas yang ditanam, melainkan juga harus difokuskan pada aktor utama yang berperan, yaitu petani itu sendiri. Berikan hak otonom pada para petani baik itu berupa regulasi harga maupun kreativitas budidaya dengan cara yang mandiri. Jangan menganggap bahwa petani itu harus digiring dan dikontrol, biarkan petani bereksplorasi. Pemerintah hanya mengisi peran sebagai pembantu, bukan pengatur!

Munculnya pola pikir yang menganggap petani itu kuno dan miskin dikarenakan adanya stagnasi pada kondisi para petani. Stagnasi eksistensi dan ekonomi bisa terjadi akibat dari kontrol penuh oleh pemerintah dalam setiap gerak-gerik petani. Bagaimana bisa membuat para pemuda percaya pada pertanian jika pemerintah saja tidak percaya dengan kemandirian dan inovasi petani di negeri sendiri.

Related posts

Leave a Comment